![]() |
Kegiatan konferensi pers Laporan Akhir Tahun Monitoring Aktivitas Mayawana Persada 2024: Perampasan Tanah Masyarakat, Kriminalisasi, Deforestasi, dan Bencana Lingkungan.SUARANUSANTARA/SK |
Pada kuartal pertama 2024, pembukaan lahan mencapai 3.890,31 hektar, termasuk 1.842,69 hektar kawasan hutan gambut lindung, 2.213,63 hektar hutan gambut budidaya, serta 3.730,71 hektar habitat orangutan.
Berdasarkan citra satelit Februari 2024, pembukaan lahan di bagian selatan konsesi menunjukkan pola terencana, meski area tersebut termasuk kawasan lindung dalam Peta RKUPHHK-HTI Mayawana periode 2012-2021.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan surat penghentian pembukaan hutan di Logged Over Area (LOA) pada 28 Maret 2024, namun aktivitas ilegal tetap berlanjut, khususnya di habitat orangutan dan kawasan gambut lindung.
Selama 2024, PT Mayawana juga mengalihfungsikan 4.056,32 hektar lahan gambut menjadi perkebunan monokultur akasia dan eukaliptus. Akibatnya, terjadi pelepasan 584.124,87 ton CO2 ke atmosfer, memperburuk krisis iklim dan mengganggu keseimbangan ekosistem gambut yang berperan sebagai penyerap karbon alami.
“Mayawana Persada ini paket komplit merusaknya. Ia merusak hutan, gambut, dan habitat orangutan yang critically endangered,” tegas Manager Kampanye Satya Bumi, Sayyidatiihayaa Afra, dalam konferensi pers di Pontianak, Jumat (21/2/2025).
Selain merusak lingkungan, aktivitas PT Mayawana juga mengancam masyarakat adat Dayak di sekitar konsesi. Perusahaan diduga melakukan praktik perampasan tanah dan menekan warga untuk menerima tali asih senilai Rp150 per meter (Rp1,5 juta per hektar).
Tim Advokasi Link-AR Borneo, Sofian Effendi, menyebut bahwa masyarakat dipaksa menerima kompensasi rendah, atau lahan mereka tetap digusur, meski telah dikelola secara turun-temurun.
“Kenapa kita sebut ada praktik perampasan tanah dan sumber kehidupan? Karena kenyataannya praktik ini terjadi di konsesi Mayawana Persada,” ujar Sofian Effendi.
Pada September 2024, dua tokoh masyarakat Desa Kualan Hilir, Tarsisius Fendy Sesupi (37) dan Ricky Prasetya Mainaiki (25), dipanggil oleh Kepolisian Daerah Kalbar atas dugaan pelanggaran hukum, yang dinilai sebagai upaya kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan hak tanahnya.
PT Mayawana juga diduga melanggar Pasal 26 ayat (1) huruf b PP 57/2016 tentang Perlindungan Ekosistem Gambut, dengan membangun kanal untuk mengeringkan lahan gambut. Padahal, aturan tersebut melarang pembangunan drainase yang menyebabkan gambut mengering, dan mewajibkan perusahaan untuk memulihkan kondisi gambut.
Perusahaan ini bahkan mengabaikan Surat Keputusan KLHK Nomor S.360/APL/PUPH/HPL/1/0/B/3/2024, yang memerintahkan penghentian penebangan di LOA guna mendukung Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Deforestasi dan pembangunan kanal ilegal juga meningkatkan risiko banjir di sekitar konsesi. Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, mengungkapkan bahwa banjir di sekitar konsesi Mayawana pada 2024 lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya, menunjukkan kerusakan lingkungan yang semakin kritis.
“Intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga menimbulkan ketakutan, terutama dengan kehadiran aparat di sekitar konsesi. Ini berdampak pada krisis sosial-ekologis,” ujar Hendrikus Adam.
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak KLHK dan pemerintah pusat untuk menindak tegas PT Mayawana Persada, termasuk pembekuan atau pencabutan izin konsesi seluas 136.710 hektar di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
Namun, dalam praktiknya, masyarakat Desa Kualan Hilir masih menghadapi kriminalisasi, menunjukkan ketimpangan hukum dan minimnya perlindungan hak asasi manusia di Kalimantan Barat.
Aktivis lingkungan dan masyarakat adat berharap agar pemerintah tidak hanya mengeluarkan kebijakan di atas kertas, tetapi juga menjalankan penegakan hukum secara nyata. Penghentian deforestasi, pemulihan ekosistem gambut, serta pemulihan hak-hak masyarakat adat menjadi prioritas utama untuk menjaga Kalimantan Barat tetap lestari dan berkeadilan sosial.
Kasus PT Mayawana Persada menjadi pengingat keras bahwa eksploitasi lingkungan tanpa batas hanya akan meninggalkan jejak kehancuran, baik bagi alam maupun generasi mendatang.[SK]