Kepala Kejari Bengkayang, Arifin Arsyad, memaparkan bahwa tersangka DO dapat diajukan untuk penghentian penuntutan melalui pendekatan restorative justice karena memenuhi sejumlah kriteria.
“Tersangka DO baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidananya tidak lebih dari lima tahun, serta kerugian yang ditimbulkan tidak mencapai Rp2.500.000. Proses perdamaian juga telah dilaksanakan, dan masyarakat merespons positif langkah ini,” ujar Arifin.
Persetujuan Restorative Justice
Direktur Orang dan Harta Benda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Nanang Ibrahim Soleh, menyetujui penghentian penuntutan tersangka DO. Persetujuan tersebut diberikan setelah memastikan bahwa seluruh persyaratan telah terpenuhi, sesuai Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Setelah meninjau pemaparan dan memastikan semua ketentuan terpenuhi, kami menyetujui penghentian penuntutan untuk tersangka DO demi keadilan yang lebih berorientasi pada kemanusiaan dan keharmonisan sosial,” ungkap Nanang Ibrahim Soleh.
Makna Restorative Justice
Restorative justice merupakan pendekatan dalam penegakan hukum yang menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, tanpa harus berujung pada hukuman pidana. Langkah ini dinilai efektif untuk kasus-kasus ringan yang memenuhi kriteria tertentu, seperti ancaman pidana rendah, kerugian kecil, dan adanya itikad baik dari pelaku.
Dampak Positif pada Masyarakat
Langkah ini diapresiasi oleh masyarakat Bengkayang. Dengan restorative justice, proses hukum tidak hanya mengedepankan keadilan formal, tetapi juga memperkuat rasa keadilan sosial. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi model dalam menangani kasus serupa di masa depan, sekaligus mendukung harmoni dalam masyarakat.
Kejari Bengkayang berkomitmen untuk terus mengutamakan prinsip keadilan restoratif dalam kasus-kasus tertentu, guna menciptakan penegakan hukum yang lebih humanis dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. [SK]