HAM: Diskursus Relativisme Budaya dan Universalisme

Sebarkan:

.
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Hak Asasi Manusia (HAM) selalu menjadi isu yang aktual untuk diperbincangkan. Berbagi dimensi HAM memiliki perspektif menarik untuk dikaji. Salah satunya perihal konstruksi penerapan HAM, yang kemudian melahirkan diskursus dua aliran pemikiran. Yakni pemikiran relativisme budaya dan pemikiran universalisme.

Pemikiran relativisme budaya pada umumnya dianut oleh negara-negara Asia yang secara peradaban masih kental dengan nilai-nilai falsafah budaya. Pemikiran relativisme budaya meletakkan budaya sebagai sumber keabsahan dan validitas keberlakuan HAM di suatu negara.

Dasar pemikiran relativisme budaya bahwa HAM bukanlah hak yang dimiliki oleh manusia secara alamiah sebagai sebuah kebebasan kehendak (liberalistik), melainkan hak yang secara konstitusional diberikan oleh negara kepada manusia demi harkat dan martabat kemanusiaan. Sehingga, negara memiliki kewenangan untuk membatasi keberlakuan hak-hak tertentu jika bertentangan dengan akar budaya suatu negara. Sistematisasi budaya secara formal adalah konstitusi, yang sekaligus merupakan hukum dasar sebuah negara.

Menurut pandangan pemikiran relativisme budaya, HAM tidak bisa diterapkan secara universal di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan setiap negara atau bangsa memiliki nilai-nilai budaya yang khas, yang tidak bisa disamaratakan. Budaya sendiri merupakan sumber validitas keberlakuan HAM. Oleh sebab itu, penerapan HAM tidak bisa bersifat universal.

Di sisi lain, aliran pemikiran universalisme menganggap bahwa HAM adalah hak kodrati yang dimiliki manusia karena dia manusia. Hak yang bukan lahir dari pemberian secara legalitas formal oleh negara. Maka dari itu, negara pada hakikatnya tidak memiliki hak untuk membatasi kebebasan asasi seseorang sepanjang tidak merugikan hak asasi manusia lainnya.

Aliran pemikiran universalisme dalam HAM pada umumnya dianut oleh negara-negara barat yang memiliki paradigma pemikiran liberal. Aliran pemikiran universalisme pada prinsipnya menginginkan adanya standarisasi yang sama di seluruh dunia mengenai penerapan HAM.

Di Indonesia sendiri, melihat substansi konstitusi UUD NRI tahun 1945, dapat dinilai Indonesia menganut pada asas pemikiran relativisme budaya. Artinya, penerapan HAM tidak bersifat universalisme-liberal, melainkan harus memperhatikan nilai-nilai budaya dan peradaban bangsa Indonesia. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa pelaksanaan HAM dapat dibatasi melalui UU dengan alasan dan pertimbangan tertentu, salah satunya pertimbangan moral dan agama.

Diskursus antara pemikiran relativisme budaya dan universalisme HAM di Indonesia sering terjadi. Misalnya terkait problematika aspek HAM terkait pernikahan sesama jenis dan pernikahan beda agama. Menurut aliran pemikiran universalisme, pernikahan sesama jenis maupun pernikahan beda agama seyogyanya tidak boleh dilarang oleh negara, karena yang demikian itu merupakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia.

Sebaliknya, menurut pemikiran relativisme budaya, pernikahan sesama jenis maupun pernikahan beda agama berhak untuk dilarang oleh negara (sepanjang diatur dalam UU), karena hal tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri merupakan sumber keabsahan dari keberlakuan kebebasan individu.

Pada akhirnya, diskursus antara relativisme budaya dan universalisme dalam penerapan HAM akan selalu menjadi isu yang aktual. Akan tetapi, perlu diingat, bahwa cara berhukum (termasuk penerapan HAM) pada suatu negara seyogyanya harus memperhatikan nilai-nilai budaya setempat. Karena, hukum dan derivasinya (penerapan HAM) tidak hidup di ruang hampa, melainkan tumbuh dan hidup di ruang sosial tertentu yang kuyup dengan nilai-nilai kultural masyarakat setempat. Mencabut nilai-nilai budaya dalam cara berhukum dan penerapan HAM ibarat mencabut nasab seorang ayah pada anaknya. 

*Penulis Adalah Pegiat Hukum Indonesia


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini