Singkawang, Kalbar (Suara Nusantara) - Indonesia Justice Watch telah menerima hasil dari Gelar Perkara Khusus (SP3D) dari Biro Pengawas Penyidikan Bareskrim Polri (Rowassidik Bareskrim Polri) atas tindakan penyidikan yang dilakukan Satreskrim Polres Singkawang terhadap kliennya HA (Anggota DPRD Kota Singkawang).
“Hasil kesimpulan gelar perkara khusus menyatakan bahwa kasus yang menjerat kliennya tidak cukup bukti dan prematur,” ujar Direktur Bantuan Hukum Anti Kriminalisasi Rifky Pradana Syahputra dalam press rilisnya, Senin (30/9/2024).
Dia menjelaskan hasil kesimpulan gelar perkara khusus tersebut linier dugaan awal bahwa penyidikan ini tidak dilaksanakan secara Scientific Criminal Investigation sebagai mana diamanatkan dalam Perkap Nomor 6 Tahun 2019.
“Indikasinya secara materi penyidikan adalah LP dan sprindik terbit di hari yang sama, tidak ada proses penyelidikan untuk mengumpulkan alat bukti yang berkualitas, keterangan saksi yang diperiksa penyidik hanya saksi-saksi derajat ke 2 bahkan ke 3,” jelasnya.
Artinya, kata Rifky, tidak ada satu pun saksi yg melihat dan mendengar secara langsung. “Penyidik juga dalam sprindik maupun tap tersangka mengenai Perpu Perlindungan Anak hanya mencantumkan pasal 81 (2) dan pasal 82 (1), pasal itu hanya mengatur sanksi pidana bagi yang melanggar pasal 76 (E), penyidik tidak mencantumkan pasal 76 (E) yang justru berisi norma perbuatan tindak pidananya, jadi sprindik dan tap tersangka ini cacat formil,” katanya.
Namun yang mengherankan adalah ketidakjelasan tempus tindak pidana terjadi, penyidik dalam berkas perkara menyebut tahun 2023, sedangkan korban pada saat gelar perkara khusus di Bareskrim Polri mengatakan terjadi tahun 2022.
“Ini menjadikan perkaranya sumir. Ditambah lagi penyidik menggunakan hasil pemeriksaan visum terhadap korban yang baru dilakukan tahun 2024 untuk menetapkan klien kami sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana tahun 2023 (versi penyidik) atau tahun 2022 (versi korban),” jelasnya.
Ia mengatakan berarti hasil visum yang digunakan sebagai alat bukti diambil satu tahun atau bahkan dua tahun setelah dugaan tindak pidana terjadi.
“Hasil visum juga tidak menyatakan ada jejak DNA maupun sidik jari klien kami, hanya menyatakan pada saat diperiksa Korban sudah tidak perawan lagi. Proses penyidikan yang serampangan seperti ini merugikan klien kami,” paparnya.
Selain itu Rowassidik Bareskrim Polri di dalam petunjuknya secara tegas memerintahkan Penyidik Satreskrim Polres Singkawang untuk tunduk dan patuh terhadap Surat Telegram Kapolri ST Nomor 1160 tahun 2023 tentang netralitas Polri.
“Ini menjadi bukti indikasinya nyata bahwa penyidikan dan penetapan tersangka terhadap klien kami tidaklah murni penegakan hukum, tapi dugaan kriminalisasi dengan motif politis,” paparnya.
Menurutya karena faktanya pada saat penyidik melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka.
“Status klien kami masih merupakan peserta pemilu, tindakan penyidik melanggar ketentuan yg ada dalam TR Netralitas Polri tersebut semakin menguatkan keyakinan kamj bahwa penyidikan kasus ini sedari awal sangatlah tendensius,” jelasnya.
Dia mengatakan untuk selanjutnya akan mendatangi Divisi Propam Polri dan menyerahkan SP3D tersebut sebagai bukti tambahan atas dugaan pelanggaran terhadap Surat Telegram Kapolri ST Nomor 1160 tahun 2023 tentang netralitas Polri yang dilakukan oleh Polres Singkawang.
“Yang sebelumnya kami laporkan dan mengumumkan kepada publik dan teman-teman wartawan mengenai langkah-langkah kami selanjutnya terkait hal ini,” paparnya. [SK]